Hak asasi manusia
sumber : Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
HAM adalah hak-hak yang telah
dipunyai seseorang sejak
ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang
dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of
Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik
Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Dalam kaitannya dengan itu, maka HAM yang
kita kenal sekarang adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan yang hak-hak yang
sebelumnya termuat, misal, dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM
yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak
berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan
kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk
tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama
menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu
memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang
ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya,
pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau
menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki
oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia.
Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM
bagian integral dari kajian dalam disiplin ilmu hukum internasional. Oleh
karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas internasional
memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu HAM di tingkat domestik.
Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam perlindungan HAM
karena sifat dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan
perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk
disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan sejarah umat manusia
sendiri. Contoh pelanggaran HAM:
1. Penindasan dan membatasi hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang.
2. Hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.
3. Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan penguasa dan partai
tiran/otoriter.
landasan undang undang berkaitan dengan hak asasi
manusia
sumber: Hamdan Zoelva,
S.H., M.H.
Pada kesempatan ini perkenankan saya
menyampaikan beberapa catatan tambahan melengkapi apa yang telah dikemukakan
dan diuraikan oleh Pak Albert Hasibuan dalam makalahnya yang baru saja
disampaikan. Dalam banyak hal saya sependapat dengan apa yang telah disampaikan
Pak Albert. Hanya beberapa catatan yang perlu saya kemukakan untuk menanggapi
Pak Albert yang akan disampaikan pada bagian akhir pandangan saya. Pada
kesempatan awal ini saya ingin memberikan beberapa catatan yang saya anggap
penting berkaitan dengan pencantuman 10 Pasal HAM pada perubahan UUD 1945.
Pertama, seperti juga secara sekilas telah dikemukakan oleh Pak Albert bahwa
pencantuman HAM dalam perubahan UUD 1945 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J UUD 1945,
tidak lepas dari situasi serta tuntutan perubahan yang terjadi pada masa akhir
pemerintahan Orde Baru, yaitu tuntutan untuk mewujudkan kehidupan demokrasi,
penegakkan supremasi hukum, pembatasan kekuasaan negara serta jaminan dan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia sebagai antitesa dari berbagai
kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan aspek-aspek tersebut.
Sebenarnya, sebelum perubahan UUD 1945,
pada tahun 1988-1990 yaitu pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, telah
dikeluarkan Ketetapan MPR RI No. XVII/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang
didalamnya tercantum Piagam HAM Bangsa Indonesia dalam Sidang Istimewa MPR RI
1998, dan dilanjutkan dengan UU No. 39 Tahun 1999. Kedua peraturan
perundang-undangan tersebut telah mengakomodir Universal Declaration of
Human Right. Apa yang termuat dalam perubahan UUD 1945 (Pasal 28A s/d Pasal
28J) adalah merujuk pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut, dengan
perumusan kembali secara sistematis.
Pada saat itu, perdebatan diantara
kalangan anggota PAH I adalah apakah perlu ketentuan mengenai HAM yang
sebenarnya sudah ada dalam ketetapan MPR dan undang-undang dicantumkan kembali
dalam Perubahan UUD ini.Sebagian besar anggota PAH I dan pada akhirnya
disepakati secara bulat bahwa ketentuan mengenai HAM ini perlu dicantumkan
secara lengkap dalam UUD dan tidak cukup hanya diatur dalam ketetapan MPR dan
undang-undang, dengan pertimbangan bahwa HAM adalah sesuatu yang sangat prinsip
bagi jaminan terselenggaranya sebuah negara hukum, seperti apa yang telah
dikutip oleh Pak Alber dari pendapat Stahlbahwa penghormatan
terhadap HAM adalah salah satu ciri atau prinsip negara hukum.
Kedua; Terjadi
perdebatan panjang mengenai adanya kecurigaan dari sebagian anggota MPR bahkan
sebagian anggota masyarakat kita bahwa konsep HAM yang bersumber dari barat,
tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip
koletivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, karena HAM yang berasal
dari barat mengandung nilai-nilai kebebasan yang berdasarkan
individualisme. Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika
disetujui adanya pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena
itu, pemahaman terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai
pembatasan HAM yang bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus
pasal mengenai kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban
asasi. Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah
dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud
semata-mata :
- untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak
dan kebebasan orang lain dan
- untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1)
(yang terkenal dengan pasal retroaktif) hampir deadlock karena
ada yang tidak setuju terhadap rumusan Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan
Pasal 28I ayat (1) dapat diterima dan disahkan dengan pengertian yang
utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara
independen. Hal ini ditegaskan kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan
UUD yang dikeluarkan oleh MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya
prinsip-prinsip kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab
dengan rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah
dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang diatur
dalah undang-undang pengadilan HAM.
Ketiga; Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah
rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula tiga
baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya itu” setelah
kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2). Penambahan kata
“kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan meminta agar dua kata
tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang sangat keberatan dengan
penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut tercantum juga dalam pasal
29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini yang disetujui bersama adalah
mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan
hati nurananinya.
Keempat; Pasal-pasal lainnya mengenai HAM disetujui dengan tanpa perdebatan yang
lama dan termasuk pasal-pasal perubahan UUD 1945 yang disetujui dengan mulus
dibanding dengan perubahan pasal yang lainnya. Hanya ketiga soal itulah yang
menjadi perdebatan panjang atas sepuluh pasal mengenai HAM ini di MPR pada saat
itu. Selanjutnya
saya sependapat dengan Pak Albert bahwa ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang
menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi
oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan
mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena
itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Bidang Legislasi
Terkait dengan implementasi HAM, ada dua aspek yang harus diperhatikan
dalam pembentukan perundang-undangan yaitu pertama berkaitan dengan proses dan
kedua berkaitan dengan substansi yang diatur peraturan perundang-undangan.
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan
transparan dan melibatkan rakyat untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk
memperoleh informasi dan hak warga negara berpatisipasi dalam pemerintahan.
Kedua; sehubungan dengan substansi
peraturan perundang-undangan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan oleh
pembentuk peraturan perundang-undangan. Pertama; pengaturan
yang membatasi HAM hanya dapat dilakukan dengan undang-undang dan terbatas yang
diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karena itu
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya pada tingkat bawah
tidak dapat membatasi HAM. Kedua; substansi peraturan perundang-undangan harus
selalu sesuai atau sejalan dengan ketentuan-ketentuan HAM yang ada dalam UUD
1945.
Pelanggaran terhadap salah satu saja dari kedua aspek tersebut dapat
menjadi alasan bagi seseorang, badan hukum atau masyarakat hukum adat untuk
menyampaikan permohonan pengujian terhadap undang-undang tersebut kepada
Mahkamah Konstitusi dan jika bertentangan dengan UUD dapat saja undang-undang
tersebut sebahagian atau seluruh dinyatakan tidak berkekuatan mengikat. Jadi
mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara pembentuk undang-undang dilakukan
oleh rakyat melalui Mahkamah Konstitusi. Dengan proses yang demikian menjadikan
UUD kita menjadi UUD yang hidup, dinamis dan memiliki nilai praktikal yang
mengawal perjalanan bangsa yang demokratis dan menghormati HAM.
Saya kurang setuju dengan langkah meratifikasi berbagai konvensi
internasional mengenai HAM. Penerimaan konvensi atau perjanjian internasional
lainnya dalam bentuk ratifikasi kadang-kadang menimbulkan masalah dalam
implementasi karena tidak seluruh ketentuan-ketentuan dalam konvensi sesuai
dengan prinsip-prinsip yang dianut bangsa Indonesia. Akan lebih baik jika
proses penerimaan nilai-nilai HAM itu melalui proses internalisasi pada saat
pembentukan undang-undang terkait. Penerimaan dalam bentuk ratifikasi hanya
dapat dilakukan dalam hal-hal sangat urgen terkait dengan kepentingan nasional
yang mendesak dan setalah dilakukan kajian menyeluruh.
Demikian juga pandangan agar dilakukan penyelidikan dan pengkajian secara
khusus terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya yang tidak sejalan
dengan HAM sesuai usul Pak Albert, menurut saya tidaklah mendesak. Karena pengujian
dan peninjauan terhadap berbagai undang-undang dan peraturan lainnya akan hidup
dengan sendirinya dan terus menerus dilakukan oleh masyarakat sipil melalui
mekanisme pengujian undang-undang. Disini pulalah peranan KOMNAS HAM sangat
diharapkan untuk mengkaji perundang-perundangan yang tidak sejalan dengan HAM
itu untuk diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan. Jadi proses
legislasi sekarang ini tidak lagi monopoli DPR dan Pemerintah (khususnya untuk
menyatakan tidak berlakunya satu atau bagian dari satu undang-undang), tetapi
juga oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagian besar permohonan pengujian terhadap undang-undang yang diajukan
kepada Mahkamah Konstitusi hingga sekarang ini didasarkan pada ketentuan
pasal-pasal HAM itu. Karena itu, dalam setiap pembentukan undang-undang
pemerintah dan DPR harus memperhatikan dengan seksama ketentuan-ketentuan HAM
yang diatur dalam UUD 1945, agar tidak menimbulkan masalah yang komplek ketika
jika Mahkmah Konstitusi menyatakan tidak berlakuanya suatu undang-undang karena
bertentangan dengan konstitusi.
Masalah Implementasi
Jika dibandingkan dengan implementasi
hak-hak sipil dan politik, maka implementasi hak-hak sosial dan ekonomi jauh
lebih sulit. Aspek inilah yang banyak terabaikan di Indonesia baik diakibatkan
karena masalah kemampuan ekonomi negara maupun karena kesadaran warga negara
atas haknya yang dijamin konstitusi.
Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang dengan mudah bisa dilihat dan
dirasakan adanya pelanggaran hak itu melalui legislasi yaitu adanya pembatasn
dan pelarangan atas peleksanaan hak, yang dapat segera direhabilitasi dengan
mengajukan pengujian terhadap undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi atau
peradilan lainnya. Sedangkan untuk penggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi melalui
legislasi lebih sulit terdeteksi adanya pembatasan-pembatasn yang secara tegas
dilakukan yang melanggar hak-hak sosial eknomi. Hak-hak sosial ekonomi lebih
banyak meminta perhatian dan tanggung jawab negara terutma pemerintah untuk
implemntasinya. Misalnya hak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, hak membentuk keluarga, hak kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah hak-hak yang
implementasinnya meminta perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Disinilah
peranan masyarakat sipil dan sosialisasi pemahaman dan kesadaran atas hak-hak
tersebut menjadi sangat penting. Pendidikan dan edukasi terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi tidak mungkin diharapkan dari pemerintah, karena pemerintah
selalu mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab karena komplesitas
masalah yang dihadapi.
Penyelasaian Pelanggaran HAM Berat
Saya sependapat dengan pandangan Pak
Albert bahwa peradilan terhadap pelanggaran HAM berat harus berdasarkan
keadilan hukum atau justice according to law. Apalagi sekarang
ini pelanggaran HAM berat adalah termasuk pelanggaran atas huku pidana
internasional yang dapat menjadi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dan
suka atau tidak suka masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk
menyelesaikan serta mengadili perkara tersebut, Karena itu, ketika sebuah
perkara pelanggaran HAM berat dibawa kepada pengadilan, maka peradilan HAM kita
harus bekerja secara professional dan tidak memutuskan perkara-perkara tersebut
dengan pertimbangan politik dan kompromi serta impunity.
Walaupun demikian, dengan adanya
undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang kita miliki, penyelesaian
perkara-perkara pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak selalu harus dengan
proses ajudikasi berdasarkan prinsip-prinsip aliran Kantian. Kita
juga perlu mempertimbangan penyelesaian non-ajudikasi dengan melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi mengikuti prinsip-prinsip utilitarian dari Jeremy
Bentham, dengan mempertimbangkan kesatuan nasional dan
keseimbangan (equalibrum).
Saya tidak sependapat dengan pandangan Pak Albert bahwa DPR tidak dapat
melakukan interpretasi politik dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,
seperti kasus Trisakti dan Semanggi. Menurut pandangan kami, secara prinsip
suatu pelanggaran pidana tidak dapat diadili secara retroaktif, akan tetapi
dalam hal-hal tertentu misalnya dalam hal pelanggaran HAM berat prinsip
pemberlakuan surut itu dimungkin dengan syarat-syarat dan batasan tertentu.
Disinilah asal usul lahirnya Pasal 43 ayat (2) UU No.26 Tahun 2000, yang
memberikan kewenangan kepada DPR untuk mengusulkan suatu kasus pelanggaran HAM
berat yang berlaku surut. Dengan penyerahan kewenangan pengusulan ini kepada
DPR, berarti penyerahan kepada institusi politik yang tidak bisa dihindari akan
melakukan interpretasi politik. Jadi menurut kami, pemebentuk undang-undang
dengan sengaja memberikan peluang interpretasi politik apakah layak atau tidak
layak suatu pelanggaran HAM berat masa lalu diajukan ke pengadilan HAM.
Terkahir saya berkesimpulan bahwa masih banyak yang harus kita lakukan
dalam rangka implementasi HAM dalam UUD ini, akan tetapi saya yakin bahwa
dengan perangkat yang disediakan oleh UUD saya selalu optmis bahwa ke depan
impelementasi HAM di Indonesia akan terus lebih baik walupun harus dengan
proses panjang, karena HAM itu sendiri selalu dinamis berkembang sesuai kondisi
dan situasi masyarakat.
1.
Sejarah Lahirnya HAM
Pada umumnya para pakar HAM berpendapat
bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta. Sejak
lahirnya piagam ini maka dimulailah babak baru bagi pelaksanaan HAM yaitu jika
raja melanggar hukum, ia harus di adili dan mempertanggung jawabkan
kebijaksanaannya kepada parlemen. Artinya sejak itu, sudah mulai dinyatakan
bahwa raja terikat dengan hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun
kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu lebih banyak berada ditangannya.
Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarki
konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.[7]
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti
oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill Of Right di inggris pada tahun 1689.
Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa manusia
sama dimuka hukum (Equality Before The Law). Adagium
ini selanjutnya memperkuat dorongan timbulnya supremasi Negara hukum dan
domokrasi. Kehadiran Bill Of Right telah
menghasilkan asas persamaan harus diwujudkan, betapapun berat resikonya yang
dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.[8]
Untuk mewujudkan asas persamaan itu maka lahirlah teori “kontrak sosial”
J.J. Rosseau. Setelah itu kemudian disusul oleh Mountesquieu dengan doktrin
trias politikanya yang terkenal yang mengajarkan pemisahan kekuasaan untuk
mencegah tirani. Selanjutnya jhon locke di inggris dan Thomas Jefferson di AS
dengan gagasan tentang hak-hak dasar kebebasan dan persamaan.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai
dengan kemunculan the American declaration of independence di
Amerika Serikat yang lahir dari semangat paham Rosseau dan Monesquieu. Jadi
sekalipun di Negara kedua tokoh HAM itu yakni Inggris dan Perancis belum lahir
rincian HAM, namun telah muncul amerika. Sejak inilah mulai dipertegas bahwa
manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah masuk
akal bila sesudah lahir ia harus dibelenggu. [9]
Selanjutnya pada tahun 1789 lahir The French Declaration, dimana hak-hak asasi
manusia ditetapkan lebih rinci lagi yang kemudian menghasilkan dasar-dasar
Negara hukum atau The Rule Of Law,dalam dasar-dasar
ini antara lain dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan
yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alas an yang sah atau ditahan tanpa
surat perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di dalamnya dinyatakan
pula asas presumpsion of innocence, yaitu
bahwa orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak
dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap menyatakan ia bersalah. Selanjutnya dipertegas juga dengan
asas freedom of expression (kebebasan mengeluarkan
pendapat), freedom of religion (kebebasan
menganut keyakinan atau agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan hak milik),
dan hak-hak dasar lainnya.[10]
Penting untuk diketahui bahwa The Four Freedoms dari presiden Roosevelt yang
dinyatakan pada 6 januari 1941, “pertama, kebebasan
berbicara dan menyatakan pendapat. Kedua, kebebasan
memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
diperlukannya. Ketiga, kebebasan dari
kemiskinan dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan
yang damai dan sejahtera bagi penduduknya. Keempat, kebebasan
dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak
satupun bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan
terhadap tetangganya”.[11]
1.
C. Perkembangan
Pemikiran HAM di Indonesia
Secara garis besar menurut Prof. Dr. Bagir
Manan, dalam bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia
(2001), membagi perkembangan pemikiran HAM dalam dua periode, yaitu periode
sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan
(1945-sekarang).[12]
2.
Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai dalam
organisasi pergerakan sebagai berikut:
3.
Budi Oetomo, pemikirannya, “Hak Kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat”
4.
Perhimpunan Indonesia, pemikirannya “Hak
untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).”
5.
Sarekat Islam, “Hak penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dam diskriminasi rasial.”
6.
Partai Komunis Indonesia, pemikirannya,
“Hak sosial dan berkaitan dengan alat-alat produksi.”
A.
Periode Sesudah Kemerdekaan
(1945-sekarang)
B.
Periode 1945-1950. Pemikiran HAM pada
periode ini menekankan pada hak-hak mengenai:
1) Hak untuk
merdeka (self dtermination).
2) Hak kebebasan untuk berserikat melalui
organisasi polotik yang didirikan.
3) Hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat
terutama di parlemen.
7.
Periode 1950-1959. Pemikiran HAM
dalam periode ini lebih menekankan pada semangat kebebasan demokrasi liberal
yang berintikan kebebasan individu.
8.
Periode 1959-1966. Pada periode ini
pemikiran HAM tidak mendapat ruang kebebasan dari pemerintah atau dengan kata
lain pemerintah melakukan pemasungan HAM, yaitu hak sipil, seperti hak untuk
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pkiran dengan tulisan.
9.
Periode 1966-1998. Dalam periode ini,
pemikiran HAM dapat dilihat dalam tiga kurun waktu yang berbeda.Pertama, tahun 1967 berusaha melindungi kebebasan
dasar manusia yang ditandai dengan adanya hak uji materiil yang diberikan
kepada Mahkamah Agung. Kedua, kurun
waktu tahun 1970-1980, pemerintah melakukan pemasungan HAM dengan sikap
defensive (bertahan), represif (kekerasan), yang dicerminkan dengan produk
hokum yang bersikap restriktif (membatasi) terhadap HAM. Ketiga, kurun waktu 1990-an pemikiran HAM tidak
lagi hanya bersifat wacana saja melainkan sudah dibentuk lembaga penegakan HAM.
10.
Periode 1998-sekarang. Pada periode ini,
HAM mendapat perhatian yang resmi dari pemerintah dengan melakukan amandemen
UUD 1945 guna menjamin HAM dan menetapakn UNdang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang hak asasi manusia. Artinya bahwa pemerintah member perlindungan yang
signifikansi terhadap kebebasan HAM dalam semua aspek, yaitu aspek hak politik,
sosial, ekonomi, budaya, keamanan, hukum dan pemerintahan.
Orde Baru
Sejak PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas
terhadap G 30 S/PKI. Hal ini menimbulkan ketidaksabaran di kalangan mahasiswa
dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965 berbagai kesatuan aksi seperti
KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonsrasi. Mereka membulatkan
barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi ekonomi yang parah, para demonstran
menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Oleh karena itu presiden memberi
mandat kepada Letjen Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan
pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru
.
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas
penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru tersebut berlangsung
dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di
negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar. Dalam beberapa aspek, HAM terjamin. Tetapi dalam beberapa
aspek lainnya, HAM tidak dilindungi.
Penegakan HAM pada Orde Baru
Orde Baru membawa banyak perubahan positif pada penegakan HAM.
Perubahan-perubahan tersebut antara lain menyangkut aspek politik, ekonomi, dan
pendidikan.
a. Politik
Salah satu kebijakan politik yang mendukung persamaan HAM terhadap masyarakat Indonesia di dunia internasional adalah didaftarkannya Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada tanggal 19 September 1966. Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota PBB, hak asasi manusia Indonesia diakui persamaannya dengan warga negara di dunia. Ini menjadi langkah yang baik untuk membawa masyarakat Indonesia pada keadilan dan kemakmuran.
a. Politik
Salah satu kebijakan politik yang mendukung persamaan HAM terhadap masyarakat Indonesia di dunia internasional adalah didaftarkannya Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada tanggal 19 September 1966. Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota PBB, hak asasi manusia Indonesia diakui persamaannya dengan warga negara di dunia. Ini menjadi langkah yang baik untuk membawa masyarakat Indonesia pada keadilan dan kemakmuran.
b. Ekonomi
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan swasembada pangan mendorong masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan hak hidup secara layak.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan swasembada pangan mendorong masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan hak hidup secara layak.
c. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, masa Orde Baru menampilkan kinerja yang positif. Pemerintah Orde Baru bisa dianggap sukses memerangi buta huruf dengan beberapa program unggulan, yaitu gerakan wajib belajar dan gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA). Dengan demikian, masyarakat Indonesia mendapatkan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.
Dalam bidang pendidikan, masa Orde Baru menampilkan kinerja yang positif. Pemerintah Orde Baru bisa dianggap sukses memerangi buta huruf dengan beberapa program unggulan, yaitu gerakan wajib belajar dan gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA). Dengan demikian, masyarakat Indonesia mendapatkan hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.
Pelanggaran HAM pada Orde Baru
Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan
keamanan terkendali, tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan
intelektual dibelenggu, pers di daerah di bungkam, KKN dan pelanggaran HAM
terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan Orde Baru, yaitu:
kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi pengelolaan negara,
lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan
lemahnya perlindungan HAM.
a. kekuasaan pemerintah yang absolut
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.
a. kekuasaan pemerintah yang absolut
Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32 tahun. Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu, kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan nepotisme.
b. rendahnya transparansi pengelolaan
Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang negara
menjadi terbuka jelas pun saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu
membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam memaksa perusahaan-perusahaan
memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya produksi. Bahkan, banyak
perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara tidak mampu membayar hutang
luar negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya
transparasi pemerintah terhadap masyarakat.
c. Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.
Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang dikendalikan oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya, menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak menuntut hak-hak mereka.
d. Hukum yang diskriminatif
Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.
Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:
§ semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,
§ pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah
sebagian besar disedot ke pusat,
§ munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua,
§ kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,
§ bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata
bagi si kaya dan si miskin),
§ kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,
§ kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibreidel,
§ penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
“Penembakan Misterius” (petrus), dan
§ tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya).
Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita mengenai
penembakan misterius terhadap musuh-musuh negara —-termasuk teroris,
menjadi catatan hitam Orde Baru. Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum
minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang tidak bisa dilupakan.
Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga
stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga
terlaksananya pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat.
Periode Reformasi
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter
tahun 1997 . Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring
dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin
merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan
sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul
demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran
adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Penegakan HAM pada Masa Reformasi
Orde reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa
perubahan positif yang dibawa oleh reformasi pada periode jabatan presiden B.J.
Habibie adalah:
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
• UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
• UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
• UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh pada tata politik yang adil. Hak warga negara untuk mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan menjadi terbuka. DPR dan MPR mulai berfungsi dengan baik sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka.
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
• UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
• UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
• UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh pada tata politik yang adil. Hak warga negara untuk mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan menjadi terbuka. DPR dan MPR mulai berfungsi dengan baik sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perbankan menjadi sektor yang penting untuk menjaga stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi stabilitas ekonomi rakyat.
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perbankan menjadi sektor yang penting untuk menjaga stabilitas ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk memperoleh kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi stabilitas ekonomi rakyat.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan pers, masyarakat dapat menyerukan aspirasi mereka. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi secara jelas dan terbuka pun mulai dibuka.
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan pers, masyarakat dapat menyerukan aspirasi mereka. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi secara jelas dan terbuka pun mulai dibuka.
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi
Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi masih terjadi
banyak pelanggaran HAM. Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup ditegakkan. Tetapi
dalam beberapa hal lain, pelanggaran HAM justru semakin marak setelah
masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah beberapa kasus pelanggaran HAM
yang terjadi pada masa reformasi.
a. Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro-modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua, diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok miskin
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro-modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua, diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok miskin
b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UUNo 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.
Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UUNo 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK. Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.
c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan paling kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah semestinya merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia kalah. Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah. Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.
Kesimpulan
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya.
Sekalipun terjadi perubahan ketika bangsa Indonesia memasuki masa reformasi,
tetapi toh tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan. Banyaknya
pelanggaran HAM yang terjadi bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti :
Telah terjadi krisis moral di Indonesia, Aparat hukum yang berlaku
sewenang-wenang, Kurang adanya penegakan hukum yang benar, dan masih banyak
sebab-sebab yang lain.
Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :
1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3. Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi,
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang,
3. Sanksi yang tegas bagi para pelanggara HAM, dan
4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat.
Penegakan HAM di Indonesia tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah
tetapi juga tanggungjawab semua umat manusia. Hak Asasi Manusia merupakan hak
kodrati manusia. Melanggar dan menciderai HAM berarti juga menciderai kasih dan
kebaikan Allah bagi umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar