Selasa, 12 Februari 2013

tugas cerpen


                                                Untuk Sahabat

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan.

Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat.

Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku.

Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.

Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku.

Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku.

Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya.

Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.



tugas tulisan cerpen


SUKA DAN DUKA DALAM PERSAHABATAN

            Betapa enaknya bila seseorang peduli terhadap kita, selalu berpendapat atas apa yang kita lakukan. Begitupun yang dialami Tari, seorang siswi SMA yang mempunyai teman laki-laki bernama Ata yang ia anggap sebagai seorang kakak.
Pada awalnya hubungan kakak-adik ini tidak begitu lancar, seringkali Tari tidak dianggap dan dibuat kesal oleh Ata, tapi entah kenapa Tari tetap bersikeras hubungan ini harus tetap berlanjut.
Hari demi hari kominikasi terus berlanjut. Suatu hari Tari meng-sms Ata hanya sekedar ingin mengobrol atau semancam itulah niat Tari, 5 menit, 10 menit dan setengah jam tak ada balasan dari Ata. “Ata kemana sih? Sms aku kok gak dibales?”
Kejadian seperti ini terus saja terulang dan terulang. Kadang Tari bergumam “Apa aku lanjutkan saja hubungan ini? Aku merasa ini semua tidak ada arti lebih untukku. Tapi…entah mengapa hati kecil Tari bisa menenangkannya dan menyuruhnya untuk tetap bersabar menghadapi ini semua.

Pagi ini Tari berangkat sekolah dengan wajah yang tak bersemangat, tak ada senyum terhias di bibirnya. Jumpalah ia dengan sahabatnya yang bernama Riri,
“kenapa Tar muka kamu kucel banget?”
“Ah, kamu ini. Aku lagi gak semangat.”
“Kenapa lagi? karena Ata ya?” Tari memang selalu bercerita apapun pada sahabatnya ini.
“Iya gitu deh….”
“Tiap kamu pikir tentang kelanjutan hubungan ini, kesimpulan apa yang kamu dapat ?”
“Tetap sama Ri, selalu malah. Hati kecil aku selalu bilang Sabar Tar, Sabar.”
“Hmm, ya sudah kalo memang begitu, kamu ikuti apa kata hati kecilmu itu.” Tari pun hanya mengangguk. Mereka pun pergi ke kelas setelah bunyi bel berdering keras.

Sedangkan di lain tempat, Ata merasa sedikit enggan dengan hubungannya dengan Tari. Ia belum terbiasa akrab dan berbagi dengan perempuan bahkan dengan Ibunya sekalipun. Sama halnya dengan Tari, Ata pun tak bersemangat hari ini, ia pergi bermain untuk melupakan sejenak kebimbangannya. Ia menghampiri temannya yang bernama Kiki yang sedang duduk di kursi bambu tidak jauh dari rumah Ata.
“Hai Ki, lagi apa? Kamu terlihat sangat sedih?”
“Ini, ada yang menganggu pikiranku.”
“Ada apa? Ceritakan saja padaku, siapa tahu aku dapat membantumu.”
“Jadi gini, dulu aku bersahabat dengan seorang perempuan bernama Novi. Aku menikmati persahabatan ini, dia seperti kakak yang selalu nasehatin aku, tapi kadang dia seperti seorang adik yang sangat manja pada kakaknya. Entah sudah berapa lama kami bersahabat. Suatu hari, aku mengecewakannya dan ia bilang, ‘cukup, aku sudah engga tahan selalu kecewa karena kamu. Mulai sekarang lakukan apapun yang kamu mau dan jangan libatkan aku.’

Kalimat itu selalu terngiang ditelingaku jika aku melihatnya atau mengenangnya. Sekarang dia seakan tidak mengenalku ‘sahabatnya ini’. Ah ‘penyesalan memang selalu datang di akhir dan kedang terlambat untuk merubah semua itu’ oh iya Ta, semenjak aku cerita kamu diam saja ada apa?” Ata sedang merenungi sikapnya pada Tari, ia tak ingin pengalaman yang dialami Kiki teralami juga olehnya. Ata pun seolah berada dalam dunianya sendiri dan tak menghiraukan panggilan temannya itu.
“ATA!” teriak kiki mengagetkan Ata.
“Ada apa? Membuat orang kaget saja.”
“Habis kamu seperti orang tuli saja dipanggil tidak menyahut ada apa sebenarnya?”
“Apa? Tidak ada apa-apa, aku pulang duluan ya, nanti kita bertemu lagi!” Ata pun pergi meninggalkan Kiki yang heran akan sikap Ata.
Sesampainya dirumah, ia berlari menuju kamar dan menyambar hp-nya. “Ah tak ada sms dari Tari, apa mungkin ia marah?” pikirnya dalam hati. Tanpa pikir panjang ia meng-sms Tari.
Ost.full house pun terdengar pertanda ada sms. Begitu Tari membuka sms-nya muncul pertanyaan besar “Kenapa Ata sms duluan tumben banget.” Tari pun langsung membalas pesan singkat Ata. Bip..Bip.. Hp Ata bergetar, terlukis seulas senyum di wajahnya. Usaha Ata menghindari kejadian yang dialami Kiki berhasil, Tari masih menerimanya sebagai sahabat. Mereka pun semakin dekat walau terkadang muncul perselisihan karena sikap kurang dewasa keduannya.
Suatu hari, Ata bercerita bahwa ia menyukai teman sekelasnya yang bernama Widia. Tari pun berargumen bahwa Ata hanya simpatik dan tanpa hati menyukai Widia. Tapi sebenarnya ia khawatir akan kehadiran Widia yang akan mengalihkan perhatian Ata pada dirinya, perselisihan pendapat pun berlangsung sampai akhirnya Ata berkata, “kamu belum kenal aku tapi kenapa kamu sudah bisa meyimpulkan itu semua?”
Betapa sakitnya hati Tari mendengar itu semua, ia menangis di sudut kamar dan bergumam, “lalu selama ini aku dianggap sebagai apa?”

Hubungan Tari dan Ata pun merenggang, Tak ada sapa dan sms Tari untuk Ata. Sampai akhirnya Ata tidak tahan dengan sikap Tari dan mengajak Tari untuk bicara.
“Kenapa kamu bersikap seperti ini? Mengenai argumen kamu tentang rasa suka aku ke Widia? Itu salah.”
“Ok argumen aku salah, lupakan! Anggap aku tak pernah bicara apapun tentang itu semua!”
“Astaga, bukan itu maksudnya. Kamu salah paham, omongan kamu tadi menyinggung hati aku Ri.”
“Kamu pikir aku tidak tersinggung? Kamu berkata bahwa aku belum kenal kamu, lalu selama ini aku siapa buat kamu? Orang lain?”
“Kamu sahabat aku Ri, dan kamu juga adik aku. Ok aku minta maaf tapi Argumen kamu bikin pikiran aku kacau.”
“Kamu tahu? Setiap kamu kecewain aku, aku selalu berpikir untuk menjadi temanmu saja tapi hati aku bilang ‘Tetap sabar’ aku juga tidak mengerti akan keputusan hati aku.”
“Maaf Ri atas semua sikap aku tapi tolong kamu tetap jadi sahabat aku.”

Tari menghela nafas. “Aku juga minta maaf sudah berpendapat tidak wajar dan sikap tidak dewasaku, tapi kamu harus berjanji jangan lupakan aku jika kamu sudah berhasil deketin Widia. Janji?”
“Hahaha. Ternyata kamu khawatir. Tenang saja masa adik dan sahabat sendiri dilupakan, mungkin saja Widia tidak merimaku. Tapi kamu, masih menerimaku. Kurang bersyukur aku kalau sampai melupakanmu. Iya, aku berjanji.”
Tari pun tersenyum mendengar penuturan Ata. Persahabatan tak selamanya berjalan atas apa yang kita kehendaki, ada suka dan ada duka. Semua tergantung sikap kita untuk menghadapinya. Setelah kesalahpahaman itu berakhir, Ata dan Tari pun semakin dekat dan mencoba untuk lebih saling mengerti.